(Pdt.E.Th.D.Telnoni-Funay, MTh)
I. Pengantar.
Catatan awal:
Permintaan Panitia Penyelenggara Reuni Akbar Akademi Theologia Kupang, Sekolah Tinggi Theologia Kupang dan Fakultas Teologi UKAW Kupang untuk menyumbangkan pikiran tentang spiritualitas pelayan saya terima dalam keadaan yang tidak cukup menguntungkan. Sebabnya ialah:
Pertama, karena saya cedera ( tangan patah);
Ke dua, saya dalam kondisi mutasi tempat pelayanan.
Oleh karena kedua alasan ini, maka bahan yang saya sajikan ini mungkin hanyalah bahan mentah yang tidak terolah dengan baik. Sekalipun demikian, demi kecintaan pada almamater ini saya rela menerima tugas ini. Perlu saya garisbawahi di sini, bahwa apa yang saya katakan di sini hanyalah pandangan seorang pendeta Jemaat GMIT, sehingga pastilah tidak mewakili seluruh kekayaan pengalaman dan pandangan semua pendeta di gereja ini.
Saya memahami istilah pelayan di sini sebagai pendeta oleh karena mayoritas dari peserta alumni ini adalah para pendeta. Ini tidak berarti saudara-saudara yang non pendeta atau belum pendeta didiskualifikasi dari percakapan ini.
II. Tantangan Pelayanan Dewasa Ini.
Judul yang ditawarkan kepada saya mendahulukan Spiritualitas Pelayan dan baru kemudian Tantangan Pelayanannya Dewasa Ini. Sambil memohon maaf kepada Panitia, judul ini saya balik oleh karena untuk mencari alternatif pemecahan terhadap suatu masalah, pertama-tama harus diidentifikasi lebih dahulu permasalahannya. Dengan demikian, apa yang masih kurang dan menjadi penyebab masalahnya dapat diketahui dan solusinya dapat ditemukan.
Tantangan-tantangan pelayanan gereja dewasa ini sangat kompleks dan dimensi-dimensinya teranyam satu dengan yang lain. Meskipun demikian, oleh karena kebutuhan kita dibatasi pada spiritualitas pelayan, maka dapatlah diidentifikasi hal-hal yang menjadi tantangan di bidang spiritualitas pelayan ini. Tantangan-tantangan yang dapat saya catat di sini adalah sbb:
A. Tantangan terhadap identitas pelayan.
A.1. Menjadi pejabat atau abdi Tuhan.
Pada dasarnya pendeta adalah abdi Tuhan yang harus mengabdikan diri untuk melayani menurut kehendak Tuhan. Meskipun demikian, dewasa ini roh ke-abdi-an semakin menipis sehingga banyak pendeta sedang berada dalam kondisi abu-abu. Saya mencatat, di lingkup pelayanan GMIT sendiri sudah lebih dari dua dasawarsa para pelayan disebut-sebut sebagai karyawan gereja. Identitas seperti ini memupuk roh kekaryaan yang mengantarkan banyak orang mandang jabatan pendeta sebagai kesempatan kerja, semata-mata untuk mencari nafkah. Selanjutnya, mereka yang menerima jabatan pelayanan gerejawi tergoda untuk menjadi “pejabat yang berkuasa.” Godaan ini menyuburkan roh pejabat organisatoris atau pejabat struktural yang ditingkah kekuasaan, sehingga citra pendeta sebagai abdi Tuhan semakin kabur. Karena itu muncul berbagai ekses yang sangat menciderai harkat dan identitas pelayan sebagai abdi Tuhan. Inilah tantangan yang harus dijawab dengan komitmen untuk menegakkan citra pelayan sebagai abdi Tuhan Dalam kondisi seperti ini, muncullah pertanyaan-pertanyaan berikut:
- “Apakah pendeta adalah abdi Tuhan atau orang upahan gereja yang dikendalikan oleh Majelis Sinode?
- Apakah pelayan gereja yang adalah pendeta adalah staf yang harus tunduk pada instruksi atasan? Apalagi dalam peraturan-peraturan GMIT istilah atasan telah diterima “secara damai” saja.
A.2. Pendeta antara karakter pelayan dan karakter pejabat.
Tantangan ke dua ini erat kaitannya dan merupakan akibat dari tantangan pertama. Pendeta adalah orang yang berjabatan gerejawi, tetapi karakter ke-pejabat-annya adalah karakter pelayan (Ibr: ’ebed. Yun: diakonos). Tantangan nyata yang sekarang sedang dihadapi para pendeta ialah sampai berapa jauhkah ada penghayatan yang cukup tentang pejabat gerejawi yang karakter pelayan? Tantangan ini semakin nyata di dalam struktur masyarakat yang paternalistis dan cenderung feodalistik. Tantangan inipun telah berubah menjadi ancaman oleh karena jabatan-jabatan struktural organisatoris dianalogikan dengan jabatan-jabatan politis dalam dunia birokrasi.
Menurut pengamatan saya pertumbuhan karakter pejabat organisatoris ini sudah menjadi satu tantangan. Aspek positifnya tidak sebanyak aspek negatifnya. Sudah cukup banyak kali para pelayan (baca: pendeta GMIT!) berlomba-lomba meraih kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan organisatoris di dalam gereja, tetapi karenaa rohnya bukan roh pelayan melainkan roh pejabat, maka untuk meraihnya dipakai cara-cara non gerejawi. Bukan rahasia lagi bahwa blac campaign dan money politics yang biasa dipraktikkan di kalangan politik sudah mendapat lahan subur di dalam gereja. Yang lebih menyedihkan lagi ialah banyak orang tidak bisa mengukur kemampuan diri, lalu memaksakan diri pada jabatan-jabatan yang menuntut tanggungjawab besar, padahal tuntutan pelayanan pada jabatan itu, melebihi kemampuan mereka. Oleh karena itu hasil kerja mereka jauh dari yang diharapkan.
Menghadapi kenyataan seperti ini, patutlah kita sadari bahwa jawaban terhadap tantangan pelayanan gereja hanya bisa digali dan ditemukan dari kandungan pelayanan konkret di dalam kegiatan pastoral gerejawi. Itulah ukuran utama yang selalu harus dikedepankan. Di sini segala kematangan atau kecerdasan adalah tolok ujur utama. Kematangan-kematangan yang saya maksudkan adalah kematangan atau kecerdasan intelektual, emosional, sosial/ekklesial, spiritual dan pastoral. Semuanya harus diuji dengan roh yang benar, yang Kudus dari Allah supaya kita tidak gampang terjatuh dalam segala cobaan.
A.3. Kesetiaan pada panggilan menjadi gembala.
Panggilan menjadi pendeta adalah panggilan untuk menjadi gembala terhadap jemaat Tuhan. Gembala selalu harus berada di tengah domba-domba, tetapi ia sendiri bukan domba.Gembala tahun jalan yang benar dan di mana tempat makan dan minum yang mdendtangkan kesegaran. Gembala tidak boleh berjalan di jalan sesat dan tidak boleh minum air tidak sehat. Banyak orang sering salah kaprah sehingga karena tuntutan untuk hadir secara empatik di tengah jemaat, mereka sama saja dengan jemaat. Akhirnya domba menggiring gembala ke jalan tidak benar dan mereka bersama minum segala minuman, termasuk minuman yang tidak sehat.
A.4. Tantangan medan pelayanan.
Satu tantangan nyata yang dihadapi para pelayan Tuhan adalah medan pelayanan yang heterogen. Itulah kenyataan gereja, yang medannya adalah kenyataan jemaat-jemaat di desa dan di kota dengan seluruh kondisinya. Kondisi desa yang minim fasilitas kehidupan jika dibandingkan dengan kota, adalah satu tantangan yang dihadapkan kepada setiap pelayan Tuhan. Kehidupan orang desa yang bisa homogen secara kultur, tetapi kurang dalam banyak hal adalah satu tantangan yang banyak kali menjadi kendala pelayanan. Sebaliknya kondisi kota yang heterogen dalam banyak aspek kehidupan bisa lebih menjanjikan fasilitas, adalah satu tantangan tersendiri. Bagaimana pelayan belajara menempatkan diri untuk melayani, adalah satu panggilan yang tidak selaqmanya mudah.
.
III. Spiritualitas pelayan.
Apa yang dimaksudkan dengan spiritualitas pelayan tentu saja harus digali dari Alkitab. Informasi-informasi yang tersedia di dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru begitu banyaknya dan tersebar di sana sini. Bagaimana kehidupan pelayan TUHAN, terlihat dalam perintah TUHAN kepada Musa ketika ia dipanggil untuk memimpin orang Ibrani keluar dari Mesir: “Tanggalkanlah kasutmu, karena tanah tempat engkau berdiri adalah kudus” (Kel. 3:5). Ini berarti ada pembatasan, sehingga orang terpanggil tidak hidup bebas begitu saja. Musa harus menanggalkan kasut pemberian istana Firaun, sebab ia tidak akan lagi menjadi pangeran Mesir, melainkan abdi Allah. Jadi kehidupan pelayan TUHAN dibatasi dengan aturan. Malah, sejak awal kehidupan orang terpanggil, batasan itu sudah berlaku. Ini terlihat dalam cerita Simson (Hak. 13:7, 14) yang menjadi seorang nazir.
Dari Perjanjian Baru, informasi tentang kelahiran Yohanes Pembaptis (Luk. 1:15) terlihat hal yang sama. Selanjutnya, bahan-bahan yang memberi pedoman tentang spiritualitas pelayan Tuhan secara eksplisit terdapat di dalam surat-surat rasul Paulus. Tentang jabatan penilik atau penatua (1 Tim. 3:1-7; Tit. 1:5-9) dan tentang diaken (1 Tim. 3:8-13).
Bagaimana bahan-bahan ini dipahami secara rinci tidak dapat dibuat di sini oleh karena keterbatasan ruang dan waktu. Oleh karena itu berdasarkan bahan-bahan ini saya sampaikan beberapa pokok pikiran sebagai catatan pokok tentang spiritualitas pelayan.
A. Memiliki Integritas Diri.
Integritas diri adalah satu tuntutan mendasar bagi setiap orang yang mau menjadi pelayan Tuhan. Integritas (Lat: integritas) secara lexikal mengandung berbagai arti yang penting, tetapi yang terutama bagi kita dalam percakapan ini ialah “ketulusan, tidak mencari kepentingan diri sendiri, kejujuran, kesalehan, kesucian dan kemurnian”. Dari pengertian lexikal ini, ciri pelayan yang memiliki integritas dapat dirumuskan demikian:
A.1. Pribadi yang jujur, ulet dan tabah.
Dengan batasan ini, maka seorang pelayan di dalam pekerjaan Tuhan sudah seharusnya adalah orang yang teguh berpegang pada prinsip kebenaran dan keadilan. Ia akan tetap jujur, sekalipun ia terjepit di dalam kesulitan. Ia akan konsisten dalam menolak ketidakjujuran, dan pantang mundur dalam memperjuangkan keadilan bagi semua orang, serta tabah menghadapi cobaan apapun. Pelayan yang memiliki integritas diri, tidak akan tergoda untuk menerima tawaran-tawaran kemudahan yang hendak merusak integritasnya. Supaya hal ini tetap terpelihara, seorang pelayan di dalam pekerjaan Tuhan harus selalu menghayati nilai tebusan dirinya yang mahal dan telah dibayar Allah, yaitu nyawa Tuhan Yesus Kristus yang tak ada taranya. Nilai semahal itu tidak dapat ditukar dengan apapun. Dengan perkataan lain, orang yang memiliki integritas diri tidak akan menjual dirinya secara murah!
A.2. Pribadi yang utuh, satu dalam kata dan akta.
Inilah batasan yang unik di tengah bangsa yang bisa bernyanyi:
Memang lidah tak bertulang, .....
Lain di bibir, lain di hati .....
Orang berhati jujur akan terlihat kejujurannya dalam hidupnya. Apa yang tersimpan di hati akan terucap melalui kata-kata dan itulah juga yang diwujudkan dalam tindakannya. Citra pelayan yang memiliki integritas diri menurut aspek ini, pertama-tama adalah orang selalu mengatakan dan melakukan kebenaran. Kata-katanya bisa dipegang, oleh karena dia tidak mencari kepentingan apapun di dalam pelayanannya.
Pelayan yang demikian adalah orang yang tidak asal berkata-kata – tidak ASBUN – sebab dia yang berpribadi utuh adalah orang yang akan mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya apa yang diucapkannya. Bahkan konsekuensi dari tiap-tiap kata yang hendak diucapkannya, akan dipertimbangkan dengan matang, sehingga ucapannya tidak menjadi sumber keresahan, melainkan mendatangkan kesejukan. Karena itu kata-katanya penuh hikmat, berwibawa dan penuh keberanian. Jika demikian, maka kata-kata yang diucapkannya akan penuh makna dan kekuatan, yang mendorongnya untuk mewujudkannya dalam tindakan pelayanannya.
Citra pelayan yang demikian akan mengarahkan dirinya pada sikap pelayanan yang siap untuk berkorban, supaya orang-orang yang mendengarkan ucapannya terlayani dengan baik. Jika pelayanannya mendatangkan konsekuensi yang berat baginya sekalipun, ia akan siap memikul salib sebagaimana pengikut Kristus harus setia memikul salibnya. Ya, salibnya dipikul dan bukan digantungkan sebagai hiasan pada busana pelayanan.
Apa yang saya katakan di atas adalah ciri-ciri pelayan yang akan mengarahkan orang terpanggil untuk setia pada panggilan, tekun dalam pelayanan, teguh dalam pandangan, sikap hidup dan pelayanan. Semua aspek dari integritas diri ini dapat dimiliki jika ada satu pra-syarat utama, yaitu penghayatan yang cukup tentang panggilan berjabatan dan panggilan pelayanan.
B. Bercitra Gembala.
Nilai yang terkandung di dalam citra ini adalah kepemimpinan. Gembala adalah sosok yang kuat, berani dan siap berkorban untuk membela domba-dombanya. Karena itu kepeduliannya sangat dituntut karena setiap saat gembala harus memberi perhatian terhadap kondisi domba-domba yang dipercayakan kepadanya. Oleh karena itu, seorang pelayan yang bercitra gembala harus berada di tengah-tengah jemaat, melibatkan diri secara dekat dengan pergumulan jemaat dan siap menolong dengan jalan keluar yang sederhana, cepat dan mendasar.
Nilai dasar dan sekaligus citra pelayan yang pastoralis tidak dapat ditawar-tawar oleh setiap orang di dalam pekerjaan Tuhan. Nilai ke-gembala-an atau nilai pastoralis ini adalah watak yang melekat pada umat yang dilayani maupun pada pelayan yang hendak melayani umat Tuhan. Dari latarbelakang Perjanian Lama maupun Perjanjian Baru, umat sendiri adalah gembala-gembala ternak yang selalu berpindah-pindah untuk menjamin kehidupan domba dan ternak yang mereka miliki. Para pengembara yang keluar dari Mesir adalah orang-orang sederhana yang hanya memiliki kemampuan dan ketrampilan sebagai gembala. Oleh karena itu ketika mereka hidup berkerajaan, pemimpin yang cocok dan akhirnya diidolakan adalah seorang gembala muda dalam diri Daud, orang Betlehem itu (1 Sam. 16:11b). Berabad-abad sesudah penobatan Daud, akhirnya para pemimpin di Israel dan Yehuda disebut sebagai gembala-gembala, baik dalam pengertian positif (Yer. 3:15; Yeh. 34:23; 37:24; Yes. 44:28) maupun dalam pengertian negatif (Yer. 2:8; 10:21; 23:1; 25:4; Yeh. 34:2, 5, 8). Pemahaman dan penghayatan umat terhadap citra ke-gembala-an dari orang-orang terpanggil ini begitu kuatnya sehingga akhirnya TUHAN sendiri digambarkan sebagai Gembala terhadap umatNya (Maz. 23:1). Dengan ini setiap orang yang mau menjadi pemimpin atau pelayan umat TUHAN, tidak dapat meloloskan diri dari citra pelayan sebagai gembala.
Citra ke-gembala-an ini berkembang terus sepanjang kehidupan umat dari abad ke abad sehingga di zaman Perjanjian Baru, Yesus menyebut diriNya sebagai Gembala dan pengikut-pengikutnya disebut domba-dombaNya (Yoh. 10:1 dst). Bahkan di akhir kehidupanNya bersama dengan murid-muridNya, ke-gembala-an sebagai citra pelayan dijadikanNya sebagai amanat kepada rasul Petrus (Yoh. 21:15-17).
Berdasarkan butir B ini maka perlu dicatat beberapa aspek penting dari nilai dan citra pelayan sebagai gembala.
B.1. Gembala adalah orang percaya.
Tidak sulit untuk merumuskan citra seorang pelayan sebagai orang percaya. Teoritis hal itu mudah, tetapi perwujudannya tidak semudah merumuskan teorinya. Pelayan yang pendeta di dalam gereja, sudah identik dengan orang berpendidikan teologi. Karena itu banyak anggota jemaat salah kaprah sebab pendetanya terbiasa fasih bicara tentang isi Alkitab. Sang pendetapun banyak kali tergelincir karena ia hanya menjadi pendeta lalu lintas dan ia sendiri tidak percaya kepada Tuhan sepenuhnya seperti apa yang diajarkannya kepada jemaat. Supaya penyakit ini tidak terus menggerogotinya, sang pelayan haruslah dekat dengan Tuhan dalam setiap langkah pelayanannya. Ia harus betul-betul menggantungkan harapannya kepada Tuhan dalam doa, penyerahan diri dan permohonan agar semua yang ia katakan dan layankan dipenuhi dengan kuasa Tuhan sendiri.
B.2. Gembala adalah milik seluruh jemaat.
Tak ada diskriminasi dalam sikap seorang pelayan. Seluruh anggota jemaat dari semua lapisan umur, tingkatan ekonomi, status sosial, kemampuan intelektual, jenis profesi dan kondisi kehidupan moral adalah manusia yang sama nilainya untuk dilayani. Sejalan dengan itu, maka seorang pelayan Tuhan haruslah orang yang tidak membatasi diri pada golongan dan situasi yang “dianggapnya cocok” atau menguntungkan dirinya. Dengan perkataan lain, seorang pelayan yang memiliki spiritualitas yang baik adalah orang yang tidak membiarkan dirinya dikurung oleh atau pada satu kelompok atau golongan orang, sebab bagaimanapun dan apapun keadaan seseorang yang harus dilayani, dia adalah sesama manusia yang harus dikasihi seperti diri sendiri.
B.3. Gembala bukan hakim yang menghukum.
Salah satu fungsi dari pelayan di dalam pekerjaan Tuhan adalah berhadapan dengan orang bermasalah. Tidak ada jemaat yang bebas dari masalah dan tidak ada pelayan yang hanya berhadapan dengan orang-orang tak bermasalah. Bahkan banyak kali pelayan sendiri bisa dibawa masuk dalam masalah jemaat. Di sini sang pelayan harus kritis dalam keterlibatannya supaya ia tidak membiarkan dirinya terhanyut dalam masalah. Akan tetapi sikap kritis itu juga tidak menempatkannya pada posisi sebagai hakim yang menghukumkan orang bersalah. Jika sampai ia dianggap terlibat, ia harus mengampuni orang yang beranggapan demikian supaya orang itu tidak dihukumkannya.
C. Pelayan yang cinta damai.
Tidak semua orang akan setia mempertahankan damai, terlebih jika kondisi sekelilingnya dilanda krisis. Sekalipun demikian, adalah panggilan bagi seorang pelayan Tuhan untuk hidup dalam damai dan memelihara damai itu di dalam kehidupan jemaat. Pelayan janganlah menjadi pemicu kondisi yang ketiadaan damai, melainkan sebaliknya ia harus berusaha merajut damai di tengah krisis yang mengarah pada kekacauan.
Ini tidak berarti bahwa seorang pelayan hanyalah orang yang lemah lembut, yang mudah diombang-ambingkan oleh berbagai kekuatan di tengah krisis. Tidak demikian halnya, oleh karena seorang pelayan adalah abdi Allah yang harus memiliki ketegasan bersikap untuk mencegah krisis yang berlarut-larut. Harus diingat bahwa di tangan gembala juga ada tongkat untuk menghalau pihak yang menjadi sumber kondisi ketiadaan damai.
D. Terikat pada Gereja.
Pelayan dalam pekerjaan Tuhan terikat pada Gereja sebagai ladang pelayanannya. Inilah dimensi ekklesial yang mengikat pelayan gereja (baca: pendeta) pada lahan kerjanya oleh karena karya penyelamatan yang dilakukan Allah di dalam Yesus Kristus mulai diwujudkan dari dalam gerejaNya. Para pelayan Tuhan ditahbiskan dalam ikatan khusus dengan gereja. Seluruh perlengkapan penahbisan dan penyelenggaraan panggilana pelayanan melalui jabatan pelayan tidak diperuntukkan bagi lingkungan kerja lain, kecuali gereja. Jubah, alat-alat baptisan dan perjamuan kudus, stola, Alkitab, semuanya adalah perlengkapan khusus untuk pelayanan di dalam gereja. Pelayan baru terlepas dari ikatan dan penugasan itu, jika ia sudah diemeritasi atau dilepaskan secara mutlak melalui pengorakan jabatan.